Cerita sex-prediksi togel -berita-bandar togel terpercaya

MAJALAH DEWASA

Cerita Dewasa Dipaksa Berhubungan Badan

Totobesar presents - Hallo pembaca cerita dewasa kali ini aku mau berbagi dengan kalian dengan ceritaku bersama tante Vera yaitu tantenya temannku yang bernama Jono, anak ini emang kocak panggilannya aja Jono psti kebayang lah orangnya yang dekil, rambut krebo, tapi kocak, sampe Kemana mana kita sering bareng bersama.


Ibu Vera ini mempunyai anak semata wayang dia pun juga baru lulus dari gelar S1 nya Manajemen, tapi habis lulus anaknya diajak nikah oleh suaminya yang sekarang dan bertempat tinggal di Jakarta. Makan tinggallah Ibu Vera ini sendiri dirumah ditemani dengan suaminya yang pengusaha jasa konstruski.


Kebetulan Jono ini keponakan kesayangan. Wajar saja dia suka besar kepala karena jadi tumpahan sayang Ibu Vera. Sampai suatu saat dia minta tinggal di luar rumah utama yang sebenarnya berlebih kamar, ya si tante nurut saja. Alasan Jono biar kalau pulang larut malam, tidak mengganggu orang rumah karena minta dibukakan pintu.

Ruang yang dia minta dan bangun adalah gudang di sebelah garasi mobil. Dengan selera anak mudanya dia atur interior ruangan itu seenak perutnya. Setengah selesai penataan ruang yang akhirnya jadi kamar yang cukup besar itu, sekali lagi Jono menawarkan diri agar aku mau tinggal bersamanya.

Saat itu Ibu Vera, hanya senyum-senyum saja. Seperti dulu-dulupun aku menolaknya. Gengsi sedikitlah, sebab ikut tinggal di rumah Bu Vera berarti semuanya serba gratis, itu artinya hutang budi, dan artinya lagi ketergantungan. Biar aku suka pusing mikirin uang kost bulanan, makan sehari-hari atau nyuci pakaian sendiri, sedikitnya di kamar kostku aku seperti manusia merdeka.


Tapi hari itu, entah karena bujukan mereka, atau karena sayangku juga pada mereka dan sebaliknya sayang mereka padaku selama ini. Akhirnya aku terima juga tawaran itu, dengan perjanjian bahwa aku tidak mau serba gratis. Aku maunya bayar, walaupun uang bayaran kostku itu ibarat ngencingin kolam renang buat Bu Vera yang memang kaya itu. Toh selama ini aku menganggap rumah Bu Vera ini rumah kostku yang kedua, sebelumnya sering juga aku menginap dan nongkrong hampir setiap hari di sini.

Ada satu hal sebenarnya yang ikut juga menghalangiku selama ini menolak tawaran Jono atau Bu Vera untuk tinggal di rumahnya. Entah kenapa aku yang anak muda begini, suka merasakan ada sesuatu yang aneh di dada kalau bertatapan, ngobrol, bercanda, diskusi dan berdekatan dengan Bu Vera.

Perempuan yang selayaknya jadi tante atau bahkan ibuku itu. Buatku Ibu Vera bukan hanya sosok perempuan cantik atau sedikitnya orang yang melihatnya akan menilai bahwa semasa gadisnya Bu Vera adalah perempuan yang luar biasa.

Bukan hanya sekedar bahwa sampai setua itu Ibu Vera masih punya bentuk tubuh yang meliuk-liuk. Senyumnya, dada, pinggang, sampai ke pinggulnya suka membuatku susah tidur dan baru lega jika aku beronani membayangkan bersetubuh dengannya. Jika aku beronani tidak cukup kalau cuma keluar sekali saja.

Gejala apa ini, apakah wajar aku terobsesi sosok perempuan yang tidak hanya sekedar cantik, tapi berintelegensi bagus, penuh kasih dan nature. Buatku secantik apapun perempuan jika tidak punya tiga unsur itu, hambar dalam selera dan pandanganku. Seperti sebuah buku kartun yang tolol dan tidak lucu saja layaknya. Malangnya Ibu Vera memiliki semua itu, dan lebih malangnya lagi aku. Di bawah sadar sering aku diremas-remas iri dan cemburu jika melihat Ibu Vera berbincang mesra atau melayani Pak Bagong, suaminya. Begitu telaten dan indah. Gila!

Selama aku tinggal di rumah Bu Vera itu, pada awalnya semua biasa saja. Perhatian dan sayang Bu Vera kurasakan tak ada bedanya terhadapku dan Jono. Kupikir semua ini naluri keibuannya saja. Tetapi semua itu berjalan hanya sampai kurang lebih 4 bulan.

Di suatu malam dari balik jendela kamarku kulihat beberapa kali Ibu Vera keluar masuk rumah dengan gelisah menunggu Pak Bagong yang sampai jam 22.00 belum pulang. Sebentar dia kedalam sebentar keluar lagi, duduk dikursi, memandang kejalan dengan muka gelisah, membalik-balik majalah lalu masuk lagi. Keluar lagi. Kuperhatikan belakangan ini Ibu Vera begitu murung. Ada masalah yang dia sembunyikan. Senyumnya sering kali getir dan terpaksa.

Aku beranjak ke kamar mandi untuk pipis. Buku Nick Carter yang sejak tadi membuat penisku tegang kugeletakkan dimeja. Tapi begitu aku kembali ternyata Bu Vera sudah duduk di kursi panjang di kamarku memegang buku itu.

Aku hanya meringis ketika Bu Vera meledekku membaca buku Nick Charter yang pas dicerita ah.,eh.,oh kertasnya aku tekuk. Sesaat setelah kami kehabisan bahan bicara, muka Bu Vera kembali mendung lagi.

Dia berdiri, berjalan ke sana sini dengan pelan tanpa suara merapikan apa saja yang dilihatnya berantakan. Sprei tempat tidur, buku-buku, koran, majalah, pakaian kotor dan asbak rokok. Ya maklum kamar bujanganlah. Aku pindah duduk dikursi panjang lantas mematung memperhatikannya. Seperti tanpa kedip. Semua yang dilakukannya adalah keindahan seorang perempuan, seorang ibu.

Setelah selesai, sejenak Bu Vera hanya berdiri, melihat jam didinding lalu menatapku dengan mata yang kosong. Aku coba untuk tersenyum sehangat mungkin. Bu Vera duduk di sampingku. Mukanya yang tetap murung akhirnya membuatku berani bicara mengomenVera sikapnya belakangan ini dan bertanya kenapa? Bu Vera tersenyum hambar, menggeleng-gelengkan kepala, diam, menunduk, menarik napas dalam dan melepasnya dengan halus. Sunyi. Seperti ingin to the point saja, Bu Vera menceritakan masalah dengan suaminya.

Seperti kampung yang diserbu provokator dan perusuh saja, otakku tercabik-cabik, terbuka. Hubungan Bu Vera dengan suaminya selama ini ternyata semuanya penuh kepura-puraan. Kemesraan mereka semu tak bernurani, bagai sebuah ruangan setengah kosong, dan setengahnya lagi sekedar keterpaksaan pelaksanaan kewajiban saja. Bu Vera berada di dalamnya. Suaminya tahu tapi seperti sengaja membiarkannya memikir, menghadapi dan menyelesaikannya sendiri. Menerima keadaan.

Entah karena kesepian, butuh orang sebagai tumpahan hatinya yang kesal dan rasa disia-siakan. Bu Vera menceritakan bahwa Pak Bagong sudah lama mempunyai istri simpanan di sebuah perumahan menengah pinggir kota.

Tak pernah hal ini dia ceritakan kepada siapapun juga kepada anaknya sendiri Mbak Clara di Jakarta. Sama dengan kebanyakan istri-istri pejabat yang walaupun tahu suaminya punya simpanan perempuan, Bu Vera hanya bisa menahan hati.

Konon katanya, justru sebenarnya banyak istri pejabat yang malah mencarikan perempuan khusus untuk dijadiakn simpanan suaminya sendiri, demi keamanan, “nama baik” dan jabatan. Biar si suami tidak asal hantam dan makan sembarang wanita. Toh, Istri tahu atau tidak, terima atau tidak, si suaminya dengan jabatan, uang dan kelelakiannya dapat melakukan apa saja pada perempuan-perempuan yang mau. Semua itu seperti permaisuri yang mencarikan selir untuk suaminya sendiri.

“Dia ingin punya anak laki-laki Win (Win nama palsu saya)” Begitu ucap Bu Vera malam itu.

Matanya mulai berkaca-kaca. Dulu Bu Vera memang suka bercerita betapa inginnya dia punya anak laki-laki yang banyak. Dia suka menyesali diri kenapa Tuhan hanya memberinya satu anak saja.

“Apakah itu alasan yang wajar Win” Ucapnya lagi.

Kedua tangannya memegang tangan kananku dan matanya yang memelas lurus menatapku. Seolah meminta dukungan bahwa kelakuan Pak Bagong salah. Aku bingung. Mau ngomong apa, seribu kata aduk-adukan diotak hingga aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Diluar dugaanku, tangis Bu Vera malah meledak tertahan. Dia jatuhkan mukanya ke pundak kiriku. Aku bingung, tapi naluri lelakiku berkata dia teraniaya dan butuh perlindungan, hingga akhirnya tanganku begitu saja merengkuhnya.

Bu Vera malah membenamkan wajahnya ke dadaku. Aku elus-elus punggungnya dan dengan pipiku kugesek-gesek rambutnya agar dia tenang. Kucium wangi parfum dari tubuh dan rambutnya.

Sesaat rasanya, sampai akhirnya Bu Vera menarik mukanya dan memandangiku dengan senyumnya yang gusar. Aku ikut tersenyum. Ada malu, ada rasa bersalah, ada pertanyaan ada kehausan di mata Bu Vera, dan ada yang menyesakan dadanya.

Entah rasa sayang atau sekedar untuk menetralisir hatinya, aku usap air matanya dengan jariku. Bu Vera hanya diam setengah bengong menatapku. Hening. Sepi.

“Ibu bahagia sekali win kamu mau tinggal disini. Entah bagaimana rasanya rumah ini kalau tak ada kamu dan Jono. Sepi. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mungkin ibu bisa mati sedih dirumah sebesar ini” Ucap Bu Vera pelan tertunduk murung.


“Kenapa Ibu baru menceritakannya sekarang?” Ucapku.

“Untuk apa?” Ucap Bu Vera menggeleng-geleng.

“Setidaknya beban Ibu dapat berkurang”.

“Buat Ibu cukup melihat Kamu dan Jono ceria dan bahagia di rumah ini. Kalianlah yang justru membuat Ibu betah di rumah. Untuk apa Ibu harus mengurangi semua itu dengan masalah Ibu. Ibu sayang pada kalian”. Ucap Bu Vera sambil memegang jari tanganku. Aku membalasnya dengan meremas jari jemarinya pelan.

“Kamu sayang pada Ibu kan Win? Tanya Bu Vera menatapku.

Aku menggangguk tersenyum. Bu Vera tersenyum bahagia. Lalu entah kenapa aku nekat begitu saja mendekatkan mukaku, mencium kening dan pipinya dengan lembut. Kulihat wajah Bu Vera yang surprise tapi diam saja.

“Bu Vera marah?” tanyaku.

Dia menggeleng-geleng dan malah balas menciumku, menyenderkan kepalanya miring di pundakku dan melingkarkan tangan kanannya di pinggangku. Kupeluk dia. Lama sekali rasanya kami saling berdiam diri. Tapi aku merasakan kedamaian yang luar biasa.

Sampai akhirnya suara motor Jono yang katanya habis diskusi di kelompok studinya tiba dan suara pintu gerbang terbuka.

Sejak kejadian malam itu hubunganku dengan Bu Vera jadi kian aneh. Mungkin awalnya hanya sekedar memperlihatkan rasa sayang dan cinta layaknya seorang anak pada ibunya dan sebaliknya. Walau dengan diam-diam disetiap kesempatan yang ada kami saling tidak menyembunyikan semua itu. Bertatapan dengan mesra, bercanda dan saling memperhatikan lebih dari dulu-dulu.

Tapi seperti air yang tak diatur, semua mengalir begitu saja. Kian lama Bu Vera dan aku berani saling mencium. Cium sayang dan lembut disetiap kesempatan yang ada tanpa seisi rumah tahu Tapi kegalauan dihatiku tetap saja tak dapat kuingkari.

Sering aku bertanya sendiri sayangku, cintaku, ciumanku dan pelukanku pada Bu Vera apakah manifestasi seorang anak pada sosok ibunya, atau seorang lelaki pada seorang perempuan. Hati dan otakku setiap hari dililit pertanyaan sialan itu. Begitu menjengkelkan.

Semua itu berjalan sampai tak dapat kuingkari bahwa birahi selalu mengikutiku jika aku berdekatan dan mencium Bu Vera. Selama ini aku berusaha menekannya. Tapi itu meledak di suatu sore yang sepi.

Semula aku hanya ingin meminjam koran yang biasanya tergeletak di ruang keluarga rumah utama. Tapi saat kulihat Bu Vera tengah berdiri menikmati ikan-ikan hias aquariumnya. Tiba-tiba aku ingin menggodanya.

Aku berjingkat perlahan dan menutup kedua matanya dengan tanganku dari belakang. Ibu Vera kaget berusaha melepaskan tanganku. Aku menahan tawa tetap menutup matanya. Tapi akhirnya Bu Vera mengenaliku juga. Kukendorkan tanganku.

“Wiinn kamu bikin kaget ibu saja akh..” Ucap Bu Vera tetap membelakangiku dan menarik kedua tanganku ke depan dadanya. Bu Vera bersandar di dadaku. Kedua tanganku tepat mengenai payudaranya yang kurasakan empuk itu.

Gelora aneh mengalir di darahku. Sementara Bu Vera terus mengomenVera ikan-ikan di dalam aquarium, aku justru memperhatikan bulu-bulu lembut di leher jenjangnya Rambutnya yang lurus sebahu saat itu atas dan terjepit jepitan rambut, hingga leher bagus itu dapat kunikmati utuh. Aku berdesir. Kurasakan napasku mulai berat. Dengan bibirku akhirnya kukecup leher itu. Bu Vera merintih kegelian dan mencubit lenganku dengan genit.

“Hii. Jangan Wiinn akhh…, Merinding Ibu ah”

Dekapan tanganku di payudara dan dadanya makin kuat. Ketika kuperhatikan dia tidak marah dan tenang maka kuulangi lagi kecupan itu berulang-ulang. Kumis dan bekas cukuran di janggutku membuatnya geli.

Tapi kurasakan tangan Bu Vera perlahan mencengkram erat di kedua jariku dan dia diam saja. Aku makin bernafsu. Ciuman, kecupan dan hisapan bibirku makin menjadi-jadi ke leher dan telinganya. Bu Vera mendesah memejamkan mata.

Kepalanya bergerak-gerak mengikuti cumbuanku. Matanya terpejam dan napasnya menggelora. Kucari bibirnya, karena susah maka kuputar tubuhnya menghadapku dan langsung kusambar dengan bibirku. Kupeluk erat Bu Vera.

Dia menggeliat membalas permainan bibirku. Kedua tangannya memegangi bagian belakang kepalaku seolah takut aku melepaskan ciuman bibirku. Kuremas-remas payudaranya dengan tangan kananku.

Bu Vera melepaskan ciumannya lalu merintih-rintih dengan kepala terdongak ke belakang seolah memberikan lehernya untukku. Dengan bibirku langsung kuciumi leher itu. Tapi tiba-tiba Bu Vera setengah menghentakan badanku seperti tengah bangun dari mimpi dan shock dia berkata, “Ya Tuhan, Wiinn…, apa yang kita lakukan?”

Bu Vera menjauhiku dan menempelkan kepalanya ke dinding menahan hati. Akupun bisu. Hening. lama sekali. Aku kian gelisah. Aku ingin keadaan itu berakhir. Aku dekati Bu Vera, memeluknya lagi. Kata-kata cinta meluncur begitu saja dari mulutku. Semua itu membuat Bu Vera bingung. Menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari masuk ke kamar menahan tangis.

Beberapa hari sejak kejadian itu Bu Vera tidak menyapaku. Dia selalu berusaha menghindariku. Aku bingung, aku takut dia marah. Aku takut dia menolak cintaku. Aku takut gila, mencintai ibu kost sendiri, istri orang dan perempuan yang jauh lebih tua dariku.

Ditolak pula. Aku mulai murung. Tapi itu hanya lebih kurang dua minggu. Hanya sampai pada suatu malam, bulan jatuh dipelukanku saat Bu Vera lembut menyapaku dan tanpa bicara sepatah katapun menciumiku.

Sejak dulu juga, jika dibalik ke”nature”annya sesekali kulihat kerling genitnya, adalah bukti bahwa sebenarnya sudah lama aku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi Bu Vera takut bicara tentang cinta, bahwa dia sayang, merindukan dan membutuhkanku.

Selanjutnya kami selalu berusaha bersikap wajar di depan seisi rumah maupun tetangga. Satu hal yang pasti bahwa kami bisa dengan bebas saling bercerita tentang apa saja. Termasuk kebiasaanku beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya yang membuatnya tertawa terpingkal-pingkal.

Sebaliknya dari Bu Vera aku tahu, bahwa suaminya Pak Bagong itu aneh, di ranjang bertempur tidak pernah menang tapi malah punya simpanan. Untuk mencapai orgasme jika bersetubuh dengan suaminya dia sering membayangkan bersetubuh denganku.

Gila. Kami terus mengalir tanpa halangan yang berarti. Maksudku tanpa tindak-tanduk yang dapat menimbulkan kecurigaan orang seisi rumah maupun tetangga. Sampai suatu hari Pak Falcon tetangga kami yang tinggal 6 rumah dari kami melangsungkan pernikahan anaknya.

Seharian itu aku dirundung nafsu dan cemburu. Seperti biasanya jika dilingkungan perumahan itu ada pernikahan maka Pak Bagong dan Bu Vera akan menjadi penerima tamu. Pak Bagong akan berbaju beskap, berjarik, blangkon dan berkeris.

Bu Vera akan berkebaya, berjarik dan berselendang dengan rambut konde yang rapi. Bu Vera sendiri tahu bahwa dengan pakaian seperti itulah seringkali aku mengungkapkan kekagumanku atas kecantikan dan seks apple yang ditimbulkannya.

Rasanya aku gelisah terus melihat kesintalan tubuh Bu Vera yang terlilit pakaian adat Jawa yang ketat itu. Jika berjalan pinggulnya bergoyang-goyang mengundang sensasi. Beberapa kali kutebar pandanganku berkeliling, selalu saja kulihat ada mata tamu pria entah muda, entah tua ada yang tengah melirik atau memperhatikannya. Semua itu membuatku pingin marah saja rasanya.

Tetapi sebelum seremoni perkawinan itu usai, tiba-tiba pembantu Bu Vera, yang biasanya aku panggil Mbak Suti datang mengabarkan bahwa barusan dia terima telepon di rumah yang mengabarkan adik Pak Bagong yang tinggal di kota P mengalami kecelakaan lalu lintas. Pak Bagong, Bu Vera, Jono, Mbak Suti dan aku akhirnya pamit pulang duluan pada Pak Falcon.

Sampai dirumah, Pak Bagong dan Ibu Vera menelepon balik ke kota P melakukan konfirmasi berita. Adik Pak Bagong bersama Dorti anaknyalah yang mengalami kecelakaan. Mobilnya tertabrak bis antar kota yang selip.

Dua-duanya masuk IGD rumah sakit dan Pak Bagong sebagai anak tertua di keluarganya diminta datang. Teman sekamarku Jono sendiri ingin ikut nengok. Jono naksir berat pada Dorti, pernah menyatakan cinta dua kali. Tapi dua kali pula Dorti menolak. Sementara Ibu Vera sendiri harus tetap tinggal karena besok pagi ada tim BPKP dari Jakarta yang akan datang melakukan audit di kantornya. Ibu Vera key person yang harus ada.

Pak Bagong dan Jono berangkat ke kota P dengan mobilnya dan akan mampir ke rumah Pak Sarmin supirnya dulu untuk diajak berangkat. Aku, Bu Vera dan Mbak Suti ngobrol sebentar membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada adik Pak Bagong dan anaknya.

Sampai Mbak Suti menguap beberapa kali. Selama ngobrol tak pernah mataku lepas dari busungnya dada Bu Vera dengan payudaranya yang montok dan sedikit terlihat. Bu Vera tahu aku selalu memperhatikannya, tapi dia membiarkan saja, bahkan seolah justru senang dan menikmati kekagumanku, birahiku dan kegusaranku.

“Sudahlah sana tidur kalau ngantuk, aku tidak balik lagi kerumah pak Falcon kok Ti, wong hampir selesai kok” Ucapnya. Bu Vera beranjak pergi katanya mau pipis. Ketika Bu Vera berjalan, pinggulnya yang bergoyang-goyang tak lepas mataku. Begitu padat, begitu bulat.

Mbak Suti langsung pamit tidur. Tinggallah aku di ruang tengah itu, sendiri, melamun. Sekian lama hubungan kami berjalan. Selama ini kami hanya sampai batas berpelukan, berciuman, saling tindih di ranjang dengan napas yang menderu-deru dan berujung orgasme tanpa coitus.

Entah berapa kali penisku menekan-nekan dan menggesek-gesek di vaginanya yang basah di celana. Entah berapa kali spermaku membasahi celana dalamku sendiri dan celana dalam Bu Vera. Lantas walaupun penisku belum pernah sekalipun masuk ke vaginanya, kecuali hanya menggesek-gesek dan aku orgasme, masih perjakakah aku?

Langkah Bu Vera terdengar dan terus kupandangi sekujur tubuhnya yang semampai melenggok-lenggok, dari kepala sampai kaki ketika dia berjalan kearahku. Stagen di pinggangnya sudah tak ada hingga perutnya sedikit terlihat. Dadaku berdebar-debar. Berkali kali kutelan ludah.

“Kamu melihat Ibu, kaya Ibu ini apaan sih?”, ucap Bu Vera genit mengibaskan tangan kanan di mukaku.

“Ibu cantik sekali, makin seksi, seksi sekali berkebaya dan Saya terangsang sekali” Ucapku asal saja menunjuk ke penisku.

“Hus. Sekali, sekali. Daripada melamun sini pijitin Ibu”, Ucap Bu Vera duduk membelakakingiku dan menepuk pundaknya. Aku pijit kedua pundaknya perlahan-lahan. Bu Vera kadang menggeliat keenakan.

Makin lama pijitanku makin turun, ke punggungnya, ke tulang-tulang rusuknya, ke pinggangnya. Tak lama kuVerak pundaknya dan kusandarkan punggungnya ke dadaku, kutempelkan pipi kananku ke pipi kirinya.


Lalu kupijit kedua pahanya, kuelus-elus dan kuremas-remas sampai ke pinggulnya. Bu Vera memejamkan matanya. Pijitan bercampur elusan kedua tanganku merambat naik dan berhenti di dadanya untuk meremas-remas buah dada yang kurasakan besar dan kenyal itu.

Mukaku kugesek-gesekan di rambut dan kondenya, pipinya, dan kukulum-kulum telinganya. Deru napas Bu Vera mulai tak teratur kadang diselingi desahan halus. Tangan kanannya mencoba meraih kepalaku, kadang mencengkram lembut rambutku.

Telapak tangan kirinya digosok-gosokan kepipi kiriku. Remasan tanganku ke buah dadanya makin liar, mukaku meliuk-liuk menciumi apa saja di kepalanya. Kubuka kancing baju kebayanya. Sembulan sepertiga buah dada dari BH-nya indah sekali.

Aku makin terangsang. Penisku yang berdiri sejak tadi ingin meledak rasanya. KuVerak baju kebayanya turun ke belakang hingga pundak dan lehernya bebas kuciumi dan jilati. Ibu Vera mengerang nikmat.

Kulingkarkan kedua tanganku memeluknya erat-erat. Bibir Bu Vera yang setengah terbuka kusambar dengan bibirku dan kukulum habis. Ujung lidah kami beradu, kutelusuri lidahnya sampai seberapa jauh dapat masuk, ke rongga-rongga mulutnya. Begitu kami bergantian.

Aku dan Bu Vera mulai tak tahan, kurebahkan dia disofa. Kutelusuri tubuhnya, kuciumi dari muka, dada, perut paha, dan betisnya yang masih dibalut kain jarik. Naik lagi dan kutindih Bu Vera. Erangannya makin merangsangku. Kubuka ikat pinggangku.

“Jangan disini sayang. Nanti kalau Suti bangun…” Tiba-tiba ucap Bu Vera tak menyelesaikan kalimatnya. Kami berdiri. Bu Vera melepas ritsluiting celanaku, memasukan tangannya ke celana dalamku dan meremas-remas penisku yang tegang dengan geregetan.

“Heemm” Ucapnya lalu membimbingku masuk ke kamarnya berjalan mundur dengan memegang dan menarik penisku. Itu membuat kami tertawa.

Pintu kamar dikuncinya cepat-cepat. Kubuka bajuku dan Bu Vera setengah menunduk membuka celanaku lalu mencari penisku. Begitu dapat langsung dimasukan ke mulutnya, dijilati dihisap-hisap, diciumi dan kadang dikocok-kocok dengan tangannya.

Yang begini belum pernah dia lakukan. Aliran kenikmatan merambat sampai ubun-ubun kepalaku. Aku memberinya isyarat agar melepaskan penisku. Aku dipuncak nafsu dan ingin memasukan penisku langsung saja ke vaginanya, tapi dia menolak.

Badanku rasanya makin bergetar dengan tulang yang mau berlepasan dan syaraf-syaraf di tubuhku rasanya kelojotan nikmat. Bu Vera begitu bernafsu dan nikmat memainkan penisku di mulutnya

Aku tak tahan dan minta rebahan di ranjang. Bu Vera melepas baju kebayanya. Dengan tetap BH masih di dada dan kain jariknya yang belum terlepas, mulutnya langsung mengejar burung pusakaku sampai dua biji telornyapun dia cium, jilat dan hisap.

Aku makin bergelinjang, melayang-layang nikmat. Hingga dipuncaknya, aku tak sempat lagi memberitahunya kalau spermaku mau keluar. Hingga akkhh…, crott…, croot…, Crroott. Spermaku muncrat di dalam mulut Bu Vera. Tapi Bu Vera justru malah bernafsu, menelannya dan terus menghisap-hisap penisku sampai bersih, kasat dan ngilu rasanya. Aku terkejut. Bangun terduduk.

“Ibu telan? Apa ibu tidak jijik?”, Tanyaku bodoh.

Ibu Vera menggeleng, justru mukanya cerah, kepuasan terpancar di wajahnya. Aneh pikirku.

“Orang bilang, meminum air mani perjaka akan membuat perempuan awet muda. Lepas betul atau tidak yang terang Ibu sudah mencobanya barusan Sayang” Ucap Bu Vera lalu menciumiku dari muka sampai dadaku, sementara tangan kanannya terus meremas-remas penisku.

“Ayo lagi Sayang, Ibu pingin kamu puas” Ucap Bu Vera mesra. penisku yang tadi terkulai karena sudah keluar sperma dan shock mulai menegang lagi akhirnya. Bu Vera kembali mengulum dan menghisap-isap penisku.

“Kalau Ibu masih pingin, ambil semua sperma Saya” Ucapku, Ibu Vera tersenyum.

Kubuka BH-nya dan kuVerak lilitan kain jariknya. Bu Vera berdiri untuk memudahkan melepas kain jariknya. Tubuhnya yang telanjang bulat langsung kuterkam, kurebahkan dan kutindih. Dua payudaranya yang besar itu kuhisap-hisap putingnya bergantian.

Tangan kananku menggosok-gosok vaginanya. Kuciumi, kujilati dan kuhisap-hisap semua bagian yang menurut instingku bisa membangkitkan gairahnya. Bibir, lidah, telinga, leher, payudara, perut, pusar, paha, vagina, betis sampai ke jari dan telapak kakinya.

Tubuh Bu Vera bergelinjangan tak karuan dadanya naik-turun kelojotan. Tangan kirinya meremas-meremas payudaranya dan tangan kanannya menggosok-gosok vaginanya sendiri. Konde rambut Bu Vera hampir terlepas. Mulutku naik lagi ke atas menyusuri betis dan paha hingga akhirnya berhenti di vaginanya. Dengan kedua tanganku kusibak pelan bulu vaginanya.

Kulihat belahan vaginanya yang memerah berkilat dan bagian dalamnya ada yang berdenyut-denyut. Kuciumi dengan lembut, bau divaginanya membuat sensasi yang aneh. Tak pernah ada bau seperti ini yang pernah kukenal rasanya.

Dengan hidung kugesek-gesek belahan vagina Bu Vera sambil menikmati aroma baunya. Erangan dan gelinjangan tubuhnya terlihat seperti pemandangan yang indah sekaligus menggairahkan.

“Aakhhk…, eekhh…, nikmat sekali sayang. Teruuss sayang”, Rintih Bu Vera.

Kujulurkan lidahku, kujilat sedikit vaginanya, ada rasa asin. Lalu dari bawah sampai atas kujulurkan lidahku menjilati belahan kewanitaannya. Begitu seterusnya naik turun sambil melihat reaksi Bu Vera.

“Akkhh…, Akkhh…, Akkhh…, Engghh” Bu Vera terus merintih nikmat, tangannya mencari tangan kananku, meremas-remas jariku lalu membawanya ke payudaranya. Aku tahu dia ingin yang meremas payudaranya adalah tanganku.

Begitu kulakukan terus, tangan kananku meremas payudaranya, mulutku menjilati dan menghisap-hisap vaginanya, tangan kiriku mengelus-elus pinggang, paha sampai ke betisnya yang putih mulus dan halus itu.

“Akkhh…, sudah Sayang…, sudah…, ayo sekarang Sayang Ibu sudah tak tahan akkhh…, masukan sayang, masukan” Desah Bu Vera mengerang meraih kepalaku agar menghentikan jilatan di vaginanya dan minta disetubuhi.

Tanpa harus mengulangi lagi permintaannya langsung saja aku merangkak naik, menindih tubuh Bu Vera. Bu Vera melebarkan pahanya. Penisku menuju vaginanya. Beberapa kali kucoba, memasukan, beberapa kali pula gagal.

Aku tak tahu mana yang pas lubangnya, mana yang hanya belahan vagina. Tapi tangan Bu Vera segera membantu, memegang penisku, membimbing ke depan lubang vaginanya lalu berkata “Ya itu Sayang…, disitu…, tekan Sayang tekan…, disitu…, aakkhh…, ayo Sayang…, Ibu tak tahan…, oo.., akkhh” Ibu Vera merintih ketika penisku yang kutekan masuk seluruhnya ke lubang vaginanya. Sejenak tubuhku kaku, aku diam saja, aku nervous. Batang penisku rasanya terjepit oleh dinding vagina Bu Vera yang seperti berdenyut-denyut dan menghisap-hisap. Nikmat luar biasa. Ini yang pertama.

Bu Vera menggoyang-goyangkan pinggulnya, setengah berputar-putar dan kadang naik turun. Penisku yang tertancap di vaginanya yang setengah becek dibuat seperti mainan yang membuatnya nikmat tak karuan.

“Ayo Sayang…, ayo…, bareng-bareng Sayang… Ibu mau keluar Sayang…, ayo…, ayo..” Rintih Bu Vera dengan mata setengah terpejam dan mulutnya yang terus terbuka mendesah-desah dan kian kuat menggoyang-goyangkan pinggulnya.

Akupun terus mengimbanginya sampai tiba-tiba Bu Vera seperti terdiam dan kedua tangannya merangkul leherku kuat-kuat dan dari mulutnya keluar desahan panjang. “Aakkhh…, Oukhh…, Engkhh…”, Bersamaan dengan rintih kepuasannya, denyutan dan hisapan vagina Bu Vera makin kuat dan nikmat rasanya.

Akupun sudah tak tahan lagi dan ingin agar spermaku segera keluar. Karenanya kunaik-turunkan penisku, kuputar-putar dan kunaik-turunkan terus hingga akhirnya croott…, croott…, crroot. “Akhh…” Bersamaan dengan muncratnya spermaku di vaginanya, kembali Bu Vera mendesah nikmat. Napasku memburu, aku lemas sekali rasanya. Sementara Bu Vera tetap menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan pelan dan tangannya mengelus-elus rambutku.

Beberapa saat kubiarkan tubuhku menindih tubuh bugil Bu Vera tanpa tangan atau dengkulku menahan beban badanku. Penisku tetap menancap di vaginanya. Ketika ingin kucabut Bu Vera melarangnya. “Jangan sayang, jangan dicabut dulu, biarkan ibu memiliki dan menikmatinya, peluk…, peluk…, tetap tindihlah Ibu sayang. Ibu puas, Kamu puas sayang hemm?.., nikmat sayang?..” Ucap Bu Vera sambil terus menciumiku.

Malam itu kami habiskan tidur sambil berpelukan di ranjang yang biasa Ibu Vera tidur dan bersetubuh dengan suaminya. Tapi sejak malam itu dan disetiap kesempatan yang ada kusetubuhi pula Bu Vera di ranjang yang sama.

Aku tak perlu lagi hanya beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya, begitupula Bu Vera tak perlu lagi hanya sekedar membayangkan bersetubuh denganku jika ia melayani suaminya. Kami baru bersetubuh di hotel jika salah satu dari kami sudah tak tahan lagi sementara kesempatan di rumah tak ada.

Atau ketika obsesiku kumat untuk bersetubuh dengan Bu Vera dalam pakaian kebaya, kain jarik dan berkonde. Ini terkadang aneh, berlama-lama Bu Vera ke salon rias, begitu selesai langsung ke Hotel dan kuacak-acak sampai berantakan. (Aneh ya?!).

Sering pula jika keadaan memungkinkan, Bu Vera suka menyelinap ke kamarku untuk “fast sex”. Seks cepat dengan tetap masih berpakaian. Tandanya, Bu Vera masuk ke kamarku sudah tanpa celana dalam dan dipuncak nafsu. Ini sering terjadi jika Bu Vera sedang butuh tapi Pak Bagong tak acuh terus tidur.

Tentang vagina Bu Vera, mungkin itu yang disebut vagina empot ayam. Vagina yang tak pernah kutemui pada semua perempuan (adik-adik, Mbak-Mbak, tante-tante dan ibu-ibu rumah tangga yang muda maupun tua) yang pernah kutiduri, sampai hari ini sekalipun diumurku yang 37 tahun.

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Copyright © majalah dewasa-Cerita sex-prediksi togel -berita-bandar togel terpercaya | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com