Cerita sex-prediksi togel -berita-bandar togel terpercaya

MAJALAH DEWASA

Cerita Dewasa Melayani Dua Tante Girang

Totobesar presentsSiang itu aku mampir di supermarket dikota untuk membeli keperluan mandi dan iseng iseng cuci mata di supermarket itu, kebetulan minggu kemarn aku baru gajian sampainya di pertokoan dan habis mengambil keperluan yang aku butuhkan aku melihat lihat mainan Tamiya yang, tiba tiba aku ditabrak sesrotang yang mengagetkn aku.



Ternyata wanita cantik yang menabrak aku dan dia minta maaf ke padaku, aku balas dengan senyuman kira kira umur 32 tahun, saat aku mau mengambil barang bawaanku yang jatuh wanita itu juga jongkok sehingga kepalaku berbenturan dengan nya, aku pun bilang minta maaf , wanita tersebut dengan ramahnya juga membalas senyumannya yang manis.

“Sendirian Bu?” tanyaku.

Si ibu menjawab, “Sebenarnya berdua, tapi teman saya lagi ke toilet dulu.”

“Borong nih?” tanyaku lagi.




Dengan tersenyum si wanita tadi menjawab, “Ahh, nggak juga.”

Kemudian si wanita tadi bertanya lagi, “Di mana Adik tinggal?”

“Setiabudi”, jawabku dengan singkat tapi pandanganku terarah pada wajah wanita tadi.

“Oh kebetulan kita sama-sama satu arah, saya juga tinggal di Lembang, bagaimana kalau kita sama-sama pulangnya nanti?” tanya wanita tersebut.



Saya diam saja namun dalam hati ada juga rasa senang diajak oleh wanita cantik. Tanpa diduga wanita itu membawa barang-barangku ke kasir sekalian dengan miliknya untuk dibayar. Di situ saya bertemu dengan temannya yang ke toilet tadi, yang ternyata bernama Maya, usianya sekitar 5 tahun lebih muda dari si ibu tadi. “Sudah Jeng?”, tanya Maya ke pada ibu tadi. “Oh, sudah hanya sedikit kok.” Lalu kami pergi ke basement untuk pulang.

Singkat cerita kami sudah dalam perjalanan pulang, ngobrol di mobil dari kenalan sampai dengan masalah yang sangat pribadi. Ternyata si ibu tersebut bernama Milena, mereka dari kalangan Borju yang suaminya bekerja sebagai pengusaha yang jarang pulang ke rumah.

Hari itu kurasakan sangat indah di dalam mobil mewah bersama dua orang wanita cantik, apalagi Maya yang memakai rok mini dan baju transparan, sehingga BH dan pahanya jelas terlihat. Milena sambil menyetir terus berusaha menggodaku. Tanya pacar segala. Tak terasa aku hampir sampai di Setiabudi tapi Maya yang berada di sampingku mencegah.

“Jangan Dik, lebih baik main dulu ke villa kami di Lembang”, ajaknya, “Ntar pulangnya diantar lagi.”
Milena pun ikut nimbrung, “Iya Dik, kebetulan di rumah sepi dan juga kami butuh teman untuk ngobrol.
  
Maya yang mengenakan rok mini selalu bikin aku ngiler apalagi dia sengaja menaikkan rok mininya sehingga pahanya yang putih mulus terlihat jelas. Aroma wewangian yang dipakai oleh Maya semakin menambah indahnya suasana.

“Dik, ngantuk nggak?” tanya Maya. Terus dia mengalihkan pertanyaannya. “Kalau ngantuk tidur aja di sini”, sambil membuka lebar pahanya sehingga terlihat jelas bagian yang sangat disukai oleh pria. Belum lagi aku menjawab dia sudah menarik kepalaku ke pahanya.

Aku tak kuasa menolaknya lagi pula aku senang, untung kaca mobilnya gelap sehingga hanya Milena dan aku yang mengetahui apa yang diperbuat oleh Maya kepadaku. “Dik kok kamu diam saja?”. Aku pura-pura bego padahal aku sudah mengerti, “What the hell she wanted.”

Kemudian dia menyuruhku untuk mengerjai bagian vitalnya, dan kuturuti saja kemauannya. Dia kini duduknya sudah tidak karuan seperti orang ambeyen saja. Tiada keraguan lagi di dalam benakku untuk mengerjainya.

Pertama-tama kuraih kedua payudaranya yang sebesar buah mangga, lalu kuremas dengan mesra dan dilanjutkan dengan meraba pahanya yang mulus sehingga dia terengah-engah. Tidak puas dengan meraba, maka kulanjutkan dengan menjilat bagian pahanya.

Jilatanku semakin panjang saja mulai dari lutut sampai ke paha lalu ke arah “bukit surganya” yang masih terbungkus celana dalamnya. Tanpa perintah, langsung kulepaskan celana dalamnya dan kini terlihat bukit kemaluannya yang berwarna merah muda yang dikelilingi oleh rambut yang tidak begitu lebat.

Kerongkonganku tiba-tiba kering tatkala melihat pemandangan yang begitu indah. Maya merebahkan tubuhnya sambil membuka pahanya lebar-lebar di atas jok. Tanpa buang waktu lagi kulanjutkan permainan setan ini.

Kujilati, kuciumi sambil kumasukkan telunjukku ke lubang senggamanya. Maya menggeliat-geliat bagaikan cacing kepanasan sambil menjambak rambutku dan mendesakkan wajahku ke arah alat vitalnya. Milena hanya melihat perbuatan kami berdua sambil bersiul menirukan suara musik dari tape mobil seakan tidak mempedulikanku yang bercumbu dengan Maya, ntar juga dia kebagian.

Sambil terus menjilat, mencium, menyedot sambil kumasukkan jariku. Maya pun seperti orang kesurupan, menggeliat ke sana sini. Oh, indah sekali hari ini. Sekarang kugunakan telunjukku untuk mengutak-atik onderdil yang ada di dalam liang senggamanya dan ibu jariku kutekan-tekan ke klitorisnya. Lalu jilatan-jilatan kuarahkan ke sekitar belahan-belahan memeknya.

Cara ini semakin membuat dia tersiksa kegelian tapi membawa kenikmatan yang luar biasa. Rasa bau amis, mual dan asin bersatu dalam kenikmatan. Aku memainkan dan menjilati liang senggama Maya yang indah itu.
Hampir 20 menit aku bermain di daerah kemaluan Maya. “Udah dulu Dik, Aku sudah tidak kuat..”

Kemudian Maya bangkit dan memintaku supaya mengeluarkan batang kejantananku. Dengan susah payah kukeluarkan milikku dan akhirnya keluar. Kemaluanku yang sudah ereksi sejak pertama naik mobil dipegang dengan mesra oleh Maya, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya, sambil menjilati. “Oh, nikmat benget Mbak.. terus Mbak.. oughh..” itulah kata-kata yang keluar dari mulutku.

Maya yang sedang kesetanan terus-menerus memainkan senjataku yang berkepala botak itu. Lendir yang keluar dari lubang pipisku pun terus dia jilati. Enak sekail, tapi kalau aku konsentrasi ke sini terus lama-kelamaan aku bisa keluar, maka kualihkan perhatianku pada persoalan yang lain.

Hampir 20 menit Maya bermain dengan kemaluanku dan tak terasa kami sudah sampai di villa milik Milena yang mewah. Maya merapikan rok dan rambutnya yang acak-acakan tapi celana dalamnya di masukkan ke dalam tas.

Gerbang terbuka secara otomatis lalu mobil masuk ke garasi, kami pun keluar dari mobil dan masuk ke villanya. Maya terus saja memelukku dari belakang sambil menjilati leherku, kemudian Maya membawaku ke kamar Milena yang luas.

Di dalam kamar tersebut, Maya langsung membuka seluruh pakaiannya. Begitu pula aku membuka seluruh pakaianku. Maya pun kini merebahkan tubuhnya yang telah polos tanpa selembar benang pun di atas kasur yang empuk lalu dia menginginkan agar posisiku di atas tubuhnya, dimana dia akan mengerjai alat vitalku begitu juga sebaliknya. Kemudian kami pun beraksi. Yess, nikmat.. enak.. oughh..” itulah kata-kata yang keluar dari mulut kami berdua diserta desisan.

Tak lama kemudian Milena pun masuk sambil membawa segelas air susu, segelas kuning telur bebek yang entah berapa jumlahnya dan dua botol kratingdaeng. “Minum dulu Dik”, kata Milena, “Lalu kita lanjutkan.”

Kemudian aku mengambil segelas air susu, setelah itu gelas yang berisi kuning telur bebek setelah habis baru satu botol kratingdaeng. Walaupun perut ini sudah penuh tapi demi lancarnya daya dobrakku, ya kupaksakan karena ini untuk kepuasan kita bertiga. Kemudian Milena memujiku, “Wah, kamu mirip dengan aktor film x kesukaan Tante.. pasti kamu mainnya juga hebat..”

Tante Milena yang berparas ayu, bibir agak tebal dan mata sayu memandangiku dari wajah sampai ke arah kemaluanku. Lalu kuraih kepalanya dan kuarahkan ke wajahku. Lalu bibir kami saling berpagutan. Aku yang duduk telanjang di tepi ranjang sedangkan Tante Milena berdiri.

Maya yang sudah telanjang di belakangku tidak tinggal diam. Dia menghampiri burungku. Okh, desahanku pun terdengar sambil bibir Tante Milena bertautan dengan bibirku. Tanganku pun bergerilya melepaskan pakaian yang dikenakan Milena.

Sesudah pakaian terbuka, kutarik BH-nya dan terlihat buah dada Milena lebih besar dibandingkan dengan milik Maya. Maya kini sedang melumat kejantananku sementara tangan kanannya meremas-remas biji pelirku dan tangan kirinya memegang celana dalamku. Benar-benar pengalaman yang fantastik bisa bercinta dengan dua wanita sekaligus.

Milena yang kini setengah telanjang meronta-ronta saat kujamah payudaranya dan meremasnya mesra. Ini benar-benar hebat, suara gemercik air ludah Maya yang mengulum kemaluanku dan desahan Tante Milena kini mewarnai nuansa di kamar yang terhitung luas, jauh bila dibandingkan dengan kamarku.

Andai aku tinggal di sini mungkin aku akan sangat berbahagia ditemani dua wanita yang cantik, binal dan haus seks. Payudara besar milik Tante Milena kuremas-remas dan yang satu kujilat, kulum dan kusedot-sedot sambil tanganku berusaha melepaskan celana jeans Tante Milena yang ketat.

Akhirnya Milena membuka celana jeans-nya sendiri sedangkan celana dalamnya saya lepas dengan menggunakan gigiku. Woww, indah sekali barang milik Milena. Milena meronta-ronta. Tanganku mulai nakal bersamaan lidah, tanganku pun ingin bermain dengan memek Maya.

Desah Milena pun terdengar begitu memburu. Sementara itu Maya pun masih sibuk bermain dengan kejantananku. Rupanya Maya pun sudah tak tahan ingin suatu proses pengakhiran. “Ganti posisi dong..” bisik Milena sambil naik ke atas ranjang.

“Woww, Dik masukin dong.. udah nggak kuat nich.. pengin ngerasain punyamu..” desah Maya tertahan sambil membimbing batang kemaluanku menuju liang senggamanya. Sementara itu Milena pun tidak ketinggalan, dia mengangkangkan pantatnya kemudian dia dekatkan pada wajahku.

Wow, sungguh pemandangan yang indah tatkala liang senggama Milena tepat berada di wajahku. Kesempatan ini tidak kusia-siakan, kujilat mesra liang senggama Milena yang membuat Milena menggelinjang tanpa ampun.

Tak lama kemudian Maya pun mengikuti langkah Milena, mengarahkan lubang senggamanya ke wajahku. Aku berada di bawah dua cewek yang haus seks. Maya terlihat merem-melek, tatkala Milena mengangkat pantatnya untuk berubah arah.

Dia yang tadi membelakangi Maya, kini mereka saling berhadapan. Kemudian Milena pun menurunkan pantatnya ke arah wajahku, memeknya seakan tersenyum kepadaku. Desisnya pun terdengar, “Woww, indah sekali.. nikmat.. enak..”

Dengan tenaga yang masih tersisa saya menawarkan pada Maya supaya berganti posisi. Lima menit kemudian Maya dengan tenaga sisa berusaha bangkit lagi kemudian dia menggoyangkan pinggulnya, kini Milena dan Maya saling berhadapan di atas tubuhku yang di banjiri peluh, lalu mereka saling berpelukan dan saling menjulurkan lidah masing-masing.

Mereka ternyata kalangan biseks tapi tidak masalah bagiku, ini merupakan pengalaman baru bagiku. Maya kini menggeliat dan seluruh tubuhnya kejang-kejang pertanda Maya akan mencapai orgasme untuk yang kedua kalinya dan dia pun berbaring di samping kiriku.

“Sekarang bagianmu .. kamu maunya posisi yang gimana..?” bisikku mesra. Rupanya Milena menginginkan posisi doggy style. Sambil mengangkat kaki kirinya, kupandangi liang senggama Milena. Kupermainkan dulu liang kewanitaannya dengan jariku. “Ooukh..” desahannya pun terdengar dan aku senang pertanda di sedang dalam keadaan siap tempur.

Milena yang kini menungging semakin membuatku tak sabar, kemudian kuarahkan batang kejantananku ke liang senggama Milena. dan.., “Bless..” tanpa halangan yang berarti kejantananku menembus liang kemaluan Milena. Sambil menyentakkan pantatku, kumainkan jariku di lubang pantatnya. Milena mengeliat-geliat, rupanya letak kelemahannya terdapat pada lubang yang mirip sumur itu.

Maya yang terkulai lemas hanya senyum-senyum saja, dia mengakui bahwa aku yang terbaik dari lawan-lawan yang pernah dia pakai.

Hampir 30 menit kukerjai milik Milena, rupanya Milena pun sudah merasakan jenuh dengan permainan ini, dan sekarang dia memintaku untuk memasukkan kajantanaku ke lubang pantatnya. Lalu kuarahkan rudalku ke arah anusnya tapi sebelumnya kujilati dulu untuk melicinkan jalannya penetrasiku.

Pertama belum berhasil, kemudian aku meminta bantuan Maya yang sedang terkapar di sampingku untuk melumasi rudal yang belum berhasil mendobrak lubang pantat Milena. Maya pun melakukannya, dia melumat rudalku dengan lidahnya, kemudian dia mengulum dan menjilati batanganku sampai terlihat licin lalu kucoba melakukan penetrasi lagi, kutekan pantatku. 1.. 2.. 3.. akhirnya aku berhasil menerobos lubang sumur Milena.

Milena pun merem-melek bagaikan anak yang sedang mengorek kupingnya dengan bulu ayam, ini benar-benar luar biasa. Untung aku jalan-jalan kalau tidak, mungkin yah takkan pernah merasakan gimana asyiknya bermain dengan dua wanita sekaligus.


Hampir 24 menit kami melakukan anal seks, sampai akhirnya kami berada pada puncaknya dan setelah itu kami pun tak berdaya. Aku dan Milena terkapar lemas setelah menyemprotkan cairan nikmatku yang sangat banyak ke lubang pantat Milena. Aku pun tertidur sambil memeluk kedua wanita setengah baya tersebut.


Share:

Cerita Dewasa Kecanduan Tante Tante

Totobesar presents - Kisah ini terjadi saat aku masih kelas 1 SMA dan usia aku sekarang 30 tahun kira kira kisahku ini terjadi sudah 14 tahun yang lalu, Perkenalkan namaku Yakub suatu ketika kami ada tugas belajar kelompok kali ini tugas dikerjakan di rumah Bima, kami berempat (Hendra, Julian Rizki, Aku) berangkat dengan membawa ganti baju karena rencana kita mau menginap di rumah Bima.


Teman saya, Bima, memang dari keluarga yang lebih dibanding teman-teman yang lain. Dia adalah anak bungsu dari 4 bersaudara (2 pria dan 2 wanita), dari ayah seorang pejabat Depkeu.(drs.E) dan Ibu dosen fakultas sastra di universitas negeri di kota B, yang biasa kami panggil Tante N. Otomatis kami selalu tidur, makan dan mandi di sana, malah kalau keluarga drs.E berpesiar, kami suka diajak.

Bila Bima sedang di bawah (karena kamarnya memang di lantai 2), kami selalu membicarakan sangkakak no.3 yang bernama E. Hal-hal yang dibicarakan tidak lain adalah wajah yang good looking serta body yang aduhai disertai kulit putih mulus terawat.

Tapi anehnya, saya kok lebih suka memperhatikan Tante N, yang diusia 42 tahun lebih menimbulkan hasrat serta fantasi-fantasi seksual yang membuat perasaan risih. Karena walau bagaimanapun Tante N adalah ibu kandung dari teman baikku. Jadi, saya hanya bisa berkhayal dan tidak berani cerita pada orang lain.

Karena keluarga drs.E adalah pencinta sport, maka setiap weekend selalu diisi dengan kegiatan berolahraga, terutama olah raga tennis. Karena saya cukup mahir bermain tennis, saya selalu diajak untuk bermain tennis. Karena saya dianggap paling jago, maka saya sering berpasangan dengan Tante N apabila bermain double.


Selain badan Tante N yang proporsional dengan tinggi badan sekitar 165 cm, pakaian tennis Tante N memang sexy dengan rok pendek serta atasan model tank top, pelukan-pelukan serta sentuhan, apabila kami memenangkan game membuat hati saya berdebar-debar dan hasrat seksual terhadap Tante N semakin menjadi-jadi. Malah, setiap selesai bermain tennis saya bermasturbasi dengan membayangkan wajah Tante N serta bersetubuh seperti film BF yang biasa saya tonton.

Pada hari Sabtu di bulan Januari, karena saya tidak memiliki pacar, saya sering berkeliling kota dengan mobil ayah untuk menghabiskan malam panjang sendirian. Karena teman-teman belajar saya semua pada ngapel, termasuk Bima.

“Ah Sial..” ketika baru saja lewat rumah keluarga drs.E, mobil terbatuk-batuk seperti habis BBM. Padahal hujan begitu lebat di luar dan SPBU terdekat kira-kira 2 km dari lokasi tempat mobil saya tepikan di bahu jalan. Akhirnya, saya memutuskan untuk meminjam telepon ke rumah Bima, untuk menelepon ayah atau siapa saja untuk membantu kesulitan gara-gara lalai terhadap yang namanya BBM.

Ketika saya tiba di rumah Bima, sambil hujan-hujanan suasana rumah tampak sepi, tidak ada mobil atau pun suara televisi yang menandakan adanya kehidupan. Dengan hati lemas saya pijit bel rumah 2 kali, “Tingtong.. tingtong..” Tidak lama kemudian terdengar jawaban dari dalam rumah

 “Siapa..?” Hati saya berdebar, karena saya sangat mengenal suara itu. Kemudian saya menjawab, “Yakub, Tante.. maaf malam-malam Tante. Saya mau pinjam telepon, mobil saya mogok, Tante.” Terdengar gerendel pintu berbunyi, dan ketika pintu terbuka tampak sebuah sosok yang sangat saya kenal, sosok yang selalu hadir disetiap fantasi seksual saya.

“Aduh Yakub kenapa? kasian malam-malam gini hujan-hujanan, ayo cepat ke kamar Bima, kalo udah selesai ke ruang makan yach! Tante buatin minuman hangat.” Sambil mengeringkan badan dan mengganti baju, masih terbayang siluet badan Tante N ketika tadi membuka pintu, yang membayang dari gaun tidur yang tipis.Dalam hati saya bertanya, “Kok sepi sekali, yang lain pada ke mana yach.”

Sambil menghirup coklat panas yang dihidangkan Tante N, akhirnya saya beranikan untuk bertanya.
“Tante, Oom, Bima dan yang lain pada ke mana? Keliatannya rumah kok sepi sekali.”
“Ini lho, adiknya Oom yang di J, sedang sakit, karena si Mbok juga lagi pulang, terpaksadech Tante jadi hansip dulu. Eh.. kamu jadi telepon nggak.”
“Eh iya Tante, kok jadi lupa nih.”
“Makanya, jangan suka ngelamun, dari tadi Tante perhatiin kamu kok bengong terus, ada apa sih?”
“Nggak ada apa-apa kok Tante!”

Saya langsung bergegas ke ruang keluarga, dan segera telepon ke rumah. Saya coba berulangkali tetap telepon tidak bisa aktif. Tiba-tiba terdengar suara Tante N, “Bisa nggak Dek? Kalo hujan begini biasanya jaringan telepon di sini memang suka ngadat.”
“Udah deh, kamu tidur sini aja, Tante juga jadi ada yang nemenin.”
“Iya Tante.”
Setelah itu, saya dan Tante N segera beranjak untuk meneruskan obrolan di ruang keluarga. Sebelum saya sempat duduk di sofa, Tante N berkata, “Dek, tolong dong Tante ajarin lagu Turkish March-nya Bethoven, Tante masih kagok tuh perpindahan jari-jarinya.”
“Kapan Tante?”
“Ya sekarang dong! Kapan lagi coba kamu punya waktu untuk ngajarin Tante.”

Kemudian kami menuju piano dan duduk sama-sama di kursi piano yang tidak terlalu lebar. Karenasaya mengajari perpindahan jari-jari tangan, otomatis saya selalu memegang jari tangan Tante N yang halus dengan kuku-kuku yang terawat dengan baik. Jantung saya terasa makin lama makin berdebar, apalagi setiap menarik nafas harum tubuh Tante N, sepertinya memenuhi rongga dada dan membuat adik kecilku mengeras secara perlahan.

“Kamu kok suaranya bergetar Dek, lagi nggak enak badan yah?”
“Nggak kok Tante, saya hanya..”
“Hanya apa hayo! nggak mau ya lama-lama temenin Tante, atau kamu udah ada janji malem mingguan.”
“Saya nggak punya pacar kok Tante, nggak kayak Bima ama yang lainnya.”
Sambil terus duduk berdekatan, tiba-tiba kepala Tante N bersandar pada bahuku dan bertanya, “Dek, Tante mau tanya apa Bima pernah cerita nggak kalo ayahnya punya istri lagi yang jauh lebih muda dari Tante, usianya sekitar 25 tahunan lah.”
“Masa sih Tante, keliatannya Tante sama Om mesra-mesra aja!”

Ketika tangan Tante N bergeser untuk bertumpu pada pahaku, secara tidak sengaja menyentuh adikku yang sejak tadi makin mengeras saja dan membuatku berteriak kecil, “Ah..” Sambil Tante N memandangku yang tertunduk malu dengan wajah sendu dan sensual, Tante N kembali bertanya, “Dek, kamu udah pernah berhubungan seksual belum?”

“Be..be..be..lum pernah Tante!”
“Mau nggak Tante ajarin? sebagai ganti kamu ngajarin piano sama Tante.”
Saya diam seribu bahasa, dan tiba-tiba bibir Tante N telah menyerbu bibirku secara bertubi-tubi sambil lidahnya terus berusaha menjilat dan meracau, “Ah..ah..ah..” Sambil terus mencium bibirku, tangan Tante N terus meremas telinga dan rambutku.

Tiba-tiba Tante N berkata, “Dek! kita pindah ke kamar yuk..”
Sambil bibir kami terus berpagutan, kami pindah ke kamar tidur dan langsung merebahkan badan dengan badanku ditindih Tante N.

Selanjutnya Tante N segera melucuti baju tidurnya dan membentanglah suatu pemandangan indah, payudara yang proporsional (kira-kira 36B) denganputing warna merah maron dengan dibungkus kulit putih yang mulus tanpa cacat, dan yang lebih lagi adalah selangkangan dengan bulu-bulu hitam yang tidak begitu lebat dengan belahan merah muda yang mempesona.

Dalam keadaan masih bengong, tiba-tiba tangan Tante N menarik tanganku danlangsung dibimbingnya ke arah payudaranya. Tanpa menyia-nyiakan waktu, saya langsung meremas dengan halus sambil memilin puting susunya yang makin tegak dan mengeras.

“Ah.. ah.. ah.. terus Dek, buat Tante puas Dek..” Sambil terus meracau Tante N segera melucuti seluruh bajuku, dan mulai meraba-raba daerah selangkanganku serta mulai meremas adikku yang terasa nikmat sekali.
“Punya kamu besar juga ya Dek”
“Boleh nggak Tante jilatin biar makin besar?”
“Emangnya Tante mau gitu..?”

Lansung posisi Tante N berubah dan mulai turun perlahan dengan terus menjilati tubuhku, dari leher, dada, perut, dan tiba-tiba kurasakan cairan hangat mulai membasahi batang dan kepala adikku. Dan ketika saya memberanikan diri untuk melihat, rupanya kemaluanku sedang dijilati Tante N, kadang-kadang dikulumnya sambil kurasakan kepala kemaluanku menyentuh ujung kerongkongan Tante N.

Tiba-tiba Tante N merubah posisinya, sambil terus mengulum dan menjilat kemaluanku, Tante N memutar badan dengan selangkangannya menghadap wajahku. Terlihatlah suatu pemandangan indah, bulu hitam dengan belahan merah dan segumpal daging merah kecil yang berkilau. “Jilat Dek, jilat Dek,” pinta Tante N. Tanpa sungkan-sungkan dan membantah, langsung saja kuarahkan lidahku untuk menjelajah sambil terus menghirup harumnya kemaluan Tante N yang bagaikan candu itu.

Usai kegiatan saling menjilat, Tante N segera berbaring dan memintaku untuk bangkit sambil tangannya terus menggenggam adikku dan dituntunnya ke arah kemaluannya. “Masukkan Dek, masukkan Dek!” pinta Tante N, seperti anak kecil yang sedang merengek-rengek.

Sesuai permintaanku, segera Tante N menekan tubuhku hingga adikku terarah dengan sempurna, dan terasalah suatu rasa yang sensasional ketika kulit kemaluanku bersentuhan dengan dinding kemaluan Tante N yang sudah basah dengan cairan hangatnya. “Ah.. ah.. ah..” suaraku dan suara Tante N memecah kesunyian dandinginnya malam. Sambil saya terus memompa Tante N tidak lupa saya meremas-remas seluruh tubuh Tante N yang memelukku dengan goyang pinggul yang seirama.

Tanpa berkata apa-apa, Tante N membantingku dan tiba-tiba Tante N telah menduduki tubuhku dan mulai bergerak turun naik memutar. Saya semakin takjub saja melihat kedua payudara Tante N seperti bergejolak untuk memuntahkan isinya.

Sambil kami terus meracau dengan kata-kata yang menunjukkan kepuasan, Tante N memintaku untuk membalikkan badannya ke posisi semula sambil memintaku untuk memompa lebih cepat. Lalu kurasakan kemaluanku semakin berdenyut dan kemaluan Tante N juga kurasakan hal yang sama.

Tidak lama kemudian tubuh kami mengejang, dan seperti di komando kami berteriak, “Ah.. ah.. ah..” sambil dari kemaluanku kurasakan keluar cairan nikmat dengan denyut kenikmatan dari dalam kemaluan Tante N dan kami saling berpelukan dengan erat sambil terus menikmati kenikmatan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Usai adegan yang tak mungkin kuhapuskan dari ingatanku, Tante N bertanya, “Kamu suka Dek? Mau kan lain kali kita ulangi lagi.”
“Mau Tante.. kapan pun Tante mau, saya akan meluangkan waktu untuk Tante.”
Tidak lama kemudian kami tertidur sambil terus berpelukan hingga keesokan harinya.

Rekan-rekan pembaca, usai kejadian itu kami masih terus melakukan affair. Hal ini berakhir ketika saya menikah 4 tahun yang lalu. Beliau berkata, “Jangan hianati istrimu, karena Tante sudah merasakan bagaimana dihianati suami.”

Sampai sekarang kami masih berhubungan baik, bersilaturrahmi dan saling memberi spirit di saat kami merasa jatuh. Saya sangat menghormati hubungan ini, karena pada dasarnya saya sangat menghargai Tante N sebagai istri dan ibu yang baik.


Share:

Cerita Dewasa Dipaksa Berhubungan Badan

Totobesar presents - Hallo pembaca cerita dewasa kali ini aku mau berbagi dengan kalian dengan ceritaku bersama tante Vera yaitu tantenya temannku yang bernama Jono, anak ini emang kocak panggilannya aja Jono psti kebayang lah orangnya yang dekil, rambut krebo, tapi kocak, sampe Kemana mana kita sering bareng bersama.


Ibu Vera ini mempunyai anak semata wayang dia pun juga baru lulus dari gelar S1 nya Manajemen, tapi habis lulus anaknya diajak nikah oleh suaminya yang sekarang dan bertempat tinggal di Jakarta. Makan tinggallah Ibu Vera ini sendiri dirumah ditemani dengan suaminya yang pengusaha jasa konstruski.


Kebetulan Jono ini keponakan kesayangan. Wajar saja dia suka besar kepala karena jadi tumpahan sayang Ibu Vera. Sampai suatu saat dia minta tinggal di luar rumah utama yang sebenarnya berlebih kamar, ya si tante nurut saja. Alasan Jono biar kalau pulang larut malam, tidak mengganggu orang rumah karena minta dibukakan pintu.

Ruang yang dia minta dan bangun adalah gudang di sebelah garasi mobil. Dengan selera anak mudanya dia atur interior ruangan itu seenak perutnya. Setengah selesai penataan ruang yang akhirnya jadi kamar yang cukup besar itu, sekali lagi Jono menawarkan diri agar aku mau tinggal bersamanya.

Saat itu Ibu Vera, hanya senyum-senyum saja. Seperti dulu-dulupun aku menolaknya. Gengsi sedikitlah, sebab ikut tinggal di rumah Bu Vera berarti semuanya serba gratis, itu artinya hutang budi, dan artinya lagi ketergantungan. Biar aku suka pusing mikirin uang kost bulanan, makan sehari-hari atau nyuci pakaian sendiri, sedikitnya di kamar kostku aku seperti manusia merdeka.


Tapi hari itu, entah karena bujukan mereka, atau karena sayangku juga pada mereka dan sebaliknya sayang mereka padaku selama ini. Akhirnya aku terima juga tawaran itu, dengan perjanjian bahwa aku tidak mau serba gratis. Aku maunya bayar, walaupun uang bayaran kostku itu ibarat ngencingin kolam renang buat Bu Vera yang memang kaya itu. Toh selama ini aku menganggap rumah Bu Vera ini rumah kostku yang kedua, sebelumnya sering juga aku menginap dan nongkrong hampir setiap hari di sini.

Ada satu hal sebenarnya yang ikut juga menghalangiku selama ini menolak tawaran Jono atau Bu Vera untuk tinggal di rumahnya. Entah kenapa aku yang anak muda begini, suka merasakan ada sesuatu yang aneh di dada kalau bertatapan, ngobrol, bercanda, diskusi dan berdekatan dengan Bu Vera.

Perempuan yang selayaknya jadi tante atau bahkan ibuku itu. Buatku Ibu Vera bukan hanya sosok perempuan cantik atau sedikitnya orang yang melihatnya akan menilai bahwa semasa gadisnya Bu Vera adalah perempuan yang luar biasa.

Bukan hanya sekedar bahwa sampai setua itu Ibu Vera masih punya bentuk tubuh yang meliuk-liuk. Senyumnya, dada, pinggang, sampai ke pinggulnya suka membuatku susah tidur dan baru lega jika aku beronani membayangkan bersetubuh dengannya. Jika aku beronani tidak cukup kalau cuma keluar sekali saja.

Gejala apa ini, apakah wajar aku terobsesi sosok perempuan yang tidak hanya sekedar cantik, tapi berintelegensi bagus, penuh kasih dan nature. Buatku secantik apapun perempuan jika tidak punya tiga unsur itu, hambar dalam selera dan pandanganku. Seperti sebuah buku kartun yang tolol dan tidak lucu saja layaknya. Malangnya Ibu Vera memiliki semua itu, dan lebih malangnya lagi aku. Di bawah sadar sering aku diremas-remas iri dan cemburu jika melihat Ibu Vera berbincang mesra atau melayani Pak Bagong, suaminya. Begitu telaten dan indah. Gila!

Selama aku tinggal di rumah Bu Vera itu, pada awalnya semua biasa saja. Perhatian dan sayang Bu Vera kurasakan tak ada bedanya terhadapku dan Jono. Kupikir semua ini naluri keibuannya saja. Tetapi semua itu berjalan hanya sampai kurang lebih 4 bulan.

Di suatu malam dari balik jendela kamarku kulihat beberapa kali Ibu Vera keluar masuk rumah dengan gelisah menunggu Pak Bagong yang sampai jam 22.00 belum pulang. Sebentar dia kedalam sebentar keluar lagi, duduk dikursi, memandang kejalan dengan muka gelisah, membalik-balik majalah lalu masuk lagi. Keluar lagi. Kuperhatikan belakangan ini Ibu Vera begitu murung. Ada masalah yang dia sembunyikan. Senyumnya sering kali getir dan terpaksa.

Aku beranjak ke kamar mandi untuk pipis. Buku Nick Carter yang sejak tadi membuat penisku tegang kugeletakkan dimeja. Tapi begitu aku kembali ternyata Bu Vera sudah duduk di kursi panjang di kamarku memegang buku itu.

Aku hanya meringis ketika Bu Vera meledekku membaca buku Nick Charter yang pas dicerita ah.,eh.,oh kertasnya aku tekuk. Sesaat setelah kami kehabisan bahan bicara, muka Bu Vera kembali mendung lagi.

Dia berdiri, berjalan ke sana sini dengan pelan tanpa suara merapikan apa saja yang dilihatnya berantakan. Sprei tempat tidur, buku-buku, koran, majalah, pakaian kotor dan asbak rokok. Ya maklum kamar bujanganlah. Aku pindah duduk dikursi panjang lantas mematung memperhatikannya. Seperti tanpa kedip. Semua yang dilakukannya adalah keindahan seorang perempuan, seorang ibu.

Setelah selesai, sejenak Bu Vera hanya berdiri, melihat jam didinding lalu menatapku dengan mata yang kosong. Aku coba untuk tersenyum sehangat mungkin. Bu Vera duduk di sampingku. Mukanya yang tetap murung akhirnya membuatku berani bicara mengomenVera sikapnya belakangan ini dan bertanya kenapa? Bu Vera tersenyum hambar, menggeleng-gelengkan kepala, diam, menunduk, menarik napas dalam dan melepasnya dengan halus. Sunyi. Seperti ingin to the point saja, Bu Vera menceritakan masalah dengan suaminya.

Seperti kampung yang diserbu provokator dan perusuh saja, otakku tercabik-cabik, terbuka. Hubungan Bu Vera dengan suaminya selama ini ternyata semuanya penuh kepura-puraan. Kemesraan mereka semu tak bernurani, bagai sebuah ruangan setengah kosong, dan setengahnya lagi sekedar keterpaksaan pelaksanaan kewajiban saja. Bu Vera berada di dalamnya. Suaminya tahu tapi seperti sengaja membiarkannya memikir, menghadapi dan menyelesaikannya sendiri. Menerima keadaan.

Entah karena kesepian, butuh orang sebagai tumpahan hatinya yang kesal dan rasa disia-siakan. Bu Vera menceritakan bahwa Pak Bagong sudah lama mempunyai istri simpanan di sebuah perumahan menengah pinggir kota.

Tak pernah hal ini dia ceritakan kepada siapapun juga kepada anaknya sendiri Mbak Clara di Jakarta. Sama dengan kebanyakan istri-istri pejabat yang walaupun tahu suaminya punya simpanan perempuan, Bu Vera hanya bisa menahan hati.

Konon katanya, justru sebenarnya banyak istri pejabat yang malah mencarikan perempuan khusus untuk dijadiakn simpanan suaminya sendiri, demi keamanan, “nama baik” dan jabatan. Biar si suami tidak asal hantam dan makan sembarang wanita. Toh, Istri tahu atau tidak, terima atau tidak, si suaminya dengan jabatan, uang dan kelelakiannya dapat melakukan apa saja pada perempuan-perempuan yang mau. Semua itu seperti permaisuri yang mencarikan selir untuk suaminya sendiri.

“Dia ingin punya anak laki-laki Win (Win nama palsu saya)” Begitu ucap Bu Vera malam itu.

Matanya mulai berkaca-kaca. Dulu Bu Vera memang suka bercerita betapa inginnya dia punya anak laki-laki yang banyak. Dia suka menyesali diri kenapa Tuhan hanya memberinya satu anak saja.

“Apakah itu alasan yang wajar Win” Ucapnya lagi.

Kedua tangannya memegang tangan kananku dan matanya yang memelas lurus menatapku. Seolah meminta dukungan bahwa kelakuan Pak Bagong salah. Aku bingung. Mau ngomong apa, seribu kata aduk-adukan diotak hingga aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Diluar dugaanku, tangis Bu Vera malah meledak tertahan. Dia jatuhkan mukanya ke pundak kiriku. Aku bingung, tapi naluri lelakiku berkata dia teraniaya dan butuh perlindungan, hingga akhirnya tanganku begitu saja merengkuhnya.

Bu Vera malah membenamkan wajahnya ke dadaku. Aku elus-elus punggungnya dan dengan pipiku kugesek-gesek rambutnya agar dia tenang. Kucium wangi parfum dari tubuh dan rambutnya.

Sesaat rasanya, sampai akhirnya Bu Vera menarik mukanya dan memandangiku dengan senyumnya yang gusar. Aku ikut tersenyum. Ada malu, ada rasa bersalah, ada pertanyaan ada kehausan di mata Bu Vera, dan ada yang menyesakan dadanya.

Entah rasa sayang atau sekedar untuk menetralisir hatinya, aku usap air matanya dengan jariku. Bu Vera hanya diam setengah bengong menatapku. Hening. Sepi.

“Ibu bahagia sekali win kamu mau tinggal disini. Entah bagaimana rasanya rumah ini kalau tak ada kamu dan Jono. Sepi. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mungkin ibu bisa mati sedih dirumah sebesar ini” Ucap Bu Vera pelan tertunduk murung.


“Kenapa Ibu baru menceritakannya sekarang?” Ucapku.

“Untuk apa?” Ucap Bu Vera menggeleng-geleng.

“Setidaknya beban Ibu dapat berkurang”.

“Buat Ibu cukup melihat Kamu dan Jono ceria dan bahagia di rumah ini. Kalianlah yang justru membuat Ibu betah di rumah. Untuk apa Ibu harus mengurangi semua itu dengan masalah Ibu. Ibu sayang pada kalian”. Ucap Bu Vera sambil memegang jari tanganku. Aku membalasnya dengan meremas jari jemarinya pelan.

“Kamu sayang pada Ibu kan Win? Tanya Bu Vera menatapku.

Aku menggangguk tersenyum. Bu Vera tersenyum bahagia. Lalu entah kenapa aku nekat begitu saja mendekatkan mukaku, mencium kening dan pipinya dengan lembut. Kulihat wajah Bu Vera yang surprise tapi diam saja.

“Bu Vera marah?” tanyaku.

Dia menggeleng-geleng dan malah balas menciumku, menyenderkan kepalanya miring di pundakku dan melingkarkan tangan kanannya di pinggangku. Kupeluk dia. Lama sekali rasanya kami saling berdiam diri. Tapi aku merasakan kedamaian yang luar biasa.

Sampai akhirnya suara motor Jono yang katanya habis diskusi di kelompok studinya tiba dan suara pintu gerbang terbuka.

Sejak kejadian malam itu hubunganku dengan Bu Vera jadi kian aneh. Mungkin awalnya hanya sekedar memperlihatkan rasa sayang dan cinta layaknya seorang anak pada ibunya dan sebaliknya. Walau dengan diam-diam disetiap kesempatan yang ada kami saling tidak menyembunyikan semua itu. Bertatapan dengan mesra, bercanda dan saling memperhatikan lebih dari dulu-dulu.

Tapi seperti air yang tak diatur, semua mengalir begitu saja. Kian lama Bu Vera dan aku berani saling mencium. Cium sayang dan lembut disetiap kesempatan yang ada tanpa seisi rumah tahu Tapi kegalauan dihatiku tetap saja tak dapat kuingkari.

Sering aku bertanya sendiri sayangku, cintaku, ciumanku dan pelukanku pada Bu Vera apakah manifestasi seorang anak pada sosok ibunya, atau seorang lelaki pada seorang perempuan. Hati dan otakku setiap hari dililit pertanyaan sialan itu. Begitu menjengkelkan.

Semua itu berjalan sampai tak dapat kuingkari bahwa birahi selalu mengikutiku jika aku berdekatan dan mencium Bu Vera. Selama ini aku berusaha menekannya. Tapi itu meledak di suatu sore yang sepi.

Semula aku hanya ingin meminjam koran yang biasanya tergeletak di ruang keluarga rumah utama. Tapi saat kulihat Bu Vera tengah berdiri menikmati ikan-ikan hias aquariumnya. Tiba-tiba aku ingin menggodanya.

Aku berjingkat perlahan dan menutup kedua matanya dengan tanganku dari belakang. Ibu Vera kaget berusaha melepaskan tanganku. Aku menahan tawa tetap menutup matanya. Tapi akhirnya Bu Vera mengenaliku juga. Kukendorkan tanganku.

“Wiinn kamu bikin kaget ibu saja akh..” Ucap Bu Vera tetap membelakangiku dan menarik kedua tanganku ke depan dadanya. Bu Vera bersandar di dadaku. Kedua tanganku tepat mengenai payudaranya yang kurasakan empuk itu.

Gelora aneh mengalir di darahku. Sementara Bu Vera terus mengomenVera ikan-ikan di dalam aquarium, aku justru memperhatikan bulu-bulu lembut di leher jenjangnya Rambutnya yang lurus sebahu saat itu atas dan terjepit jepitan rambut, hingga leher bagus itu dapat kunikmati utuh. Aku berdesir. Kurasakan napasku mulai berat. Dengan bibirku akhirnya kukecup leher itu. Bu Vera merintih kegelian dan mencubit lenganku dengan genit.

“Hii. Jangan Wiinn akhh…, Merinding Ibu ah”

Dekapan tanganku di payudara dan dadanya makin kuat. Ketika kuperhatikan dia tidak marah dan tenang maka kuulangi lagi kecupan itu berulang-ulang. Kumis dan bekas cukuran di janggutku membuatnya geli.

Tapi kurasakan tangan Bu Vera perlahan mencengkram erat di kedua jariku dan dia diam saja. Aku makin bernafsu. Ciuman, kecupan dan hisapan bibirku makin menjadi-jadi ke leher dan telinganya. Bu Vera mendesah memejamkan mata.

Kepalanya bergerak-gerak mengikuti cumbuanku. Matanya terpejam dan napasnya menggelora. Kucari bibirnya, karena susah maka kuputar tubuhnya menghadapku dan langsung kusambar dengan bibirku. Kupeluk erat Bu Vera.

Dia menggeliat membalas permainan bibirku. Kedua tangannya memegangi bagian belakang kepalaku seolah takut aku melepaskan ciuman bibirku. Kuremas-remas payudaranya dengan tangan kananku.

Bu Vera melepaskan ciumannya lalu merintih-rintih dengan kepala terdongak ke belakang seolah memberikan lehernya untukku. Dengan bibirku langsung kuciumi leher itu. Tapi tiba-tiba Bu Vera setengah menghentakan badanku seperti tengah bangun dari mimpi dan shock dia berkata, “Ya Tuhan, Wiinn…, apa yang kita lakukan?”

Bu Vera menjauhiku dan menempelkan kepalanya ke dinding menahan hati. Akupun bisu. Hening. lama sekali. Aku kian gelisah. Aku ingin keadaan itu berakhir. Aku dekati Bu Vera, memeluknya lagi. Kata-kata cinta meluncur begitu saja dari mulutku. Semua itu membuat Bu Vera bingung. Menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari masuk ke kamar menahan tangis.

Beberapa hari sejak kejadian itu Bu Vera tidak menyapaku. Dia selalu berusaha menghindariku. Aku bingung, aku takut dia marah. Aku takut dia menolak cintaku. Aku takut gila, mencintai ibu kost sendiri, istri orang dan perempuan yang jauh lebih tua dariku.

Ditolak pula. Aku mulai murung. Tapi itu hanya lebih kurang dua minggu. Hanya sampai pada suatu malam, bulan jatuh dipelukanku saat Bu Vera lembut menyapaku dan tanpa bicara sepatah katapun menciumiku.

Sejak dulu juga, jika dibalik ke”nature”annya sesekali kulihat kerling genitnya, adalah bukti bahwa sebenarnya sudah lama aku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi Bu Vera takut bicara tentang cinta, bahwa dia sayang, merindukan dan membutuhkanku.

Selanjutnya kami selalu berusaha bersikap wajar di depan seisi rumah maupun tetangga. Satu hal yang pasti bahwa kami bisa dengan bebas saling bercerita tentang apa saja. Termasuk kebiasaanku beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya yang membuatnya tertawa terpingkal-pingkal.

Sebaliknya dari Bu Vera aku tahu, bahwa suaminya Pak Bagong itu aneh, di ranjang bertempur tidak pernah menang tapi malah punya simpanan. Untuk mencapai orgasme jika bersetubuh dengan suaminya dia sering membayangkan bersetubuh denganku.

Gila. Kami terus mengalir tanpa halangan yang berarti. Maksudku tanpa tindak-tanduk yang dapat menimbulkan kecurigaan orang seisi rumah maupun tetangga. Sampai suatu hari Pak Falcon tetangga kami yang tinggal 6 rumah dari kami melangsungkan pernikahan anaknya.

Seharian itu aku dirundung nafsu dan cemburu. Seperti biasanya jika dilingkungan perumahan itu ada pernikahan maka Pak Bagong dan Bu Vera akan menjadi penerima tamu. Pak Bagong akan berbaju beskap, berjarik, blangkon dan berkeris.

Bu Vera akan berkebaya, berjarik dan berselendang dengan rambut konde yang rapi. Bu Vera sendiri tahu bahwa dengan pakaian seperti itulah seringkali aku mengungkapkan kekagumanku atas kecantikan dan seks apple yang ditimbulkannya.

Rasanya aku gelisah terus melihat kesintalan tubuh Bu Vera yang terlilit pakaian adat Jawa yang ketat itu. Jika berjalan pinggulnya bergoyang-goyang mengundang sensasi. Beberapa kali kutebar pandanganku berkeliling, selalu saja kulihat ada mata tamu pria entah muda, entah tua ada yang tengah melirik atau memperhatikannya. Semua itu membuatku pingin marah saja rasanya.

Tetapi sebelum seremoni perkawinan itu usai, tiba-tiba pembantu Bu Vera, yang biasanya aku panggil Mbak Suti datang mengabarkan bahwa barusan dia terima telepon di rumah yang mengabarkan adik Pak Bagong yang tinggal di kota P mengalami kecelakaan lalu lintas. Pak Bagong, Bu Vera, Jono, Mbak Suti dan aku akhirnya pamit pulang duluan pada Pak Falcon.

Sampai dirumah, Pak Bagong dan Ibu Vera menelepon balik ke kota P melakukan konfirmasi berita. Adik Pak Bagong bersama Dorti anaknyalah yang mengalami kecelakaan. Mobilnya tertabrak bis antar kota yang selip.

Dua-duanya masuk IGD rumah sakit dan Pak Bagong sebagai anak tertua di keluarganya diminta datang. Teman sekamarku Jono sendiri ingin ikut nengok. Jono naksir berat pada Dorti, pernah menyatakan cinta dua kali. Tapi dua kali pula Dorti menolak. Sementara Ibu Vera sendiri harus tetap tinggal karena besok pagi ada tim BPKP dari Jakarta yang akan datang melakukan audit di kantornya. Ibu Vera key person yang harus ada.

Pak Bagong dan Jono berangkat ke kota P dengan mobilnya dan akan mampir ke rumah Pak Sarmin supirnya dulu untuk diajak berangkat. Aku, Bu Vera dan Mbak Suti ngobrol sebentar membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada adik Pak Bagong dan anaknya.

Sampai Mbak Suti menguap beberapa kali. Selama ngobrol tak pernah mataku lepas dari busungnya dada Bu Vera dengan payudaranya yang montok dan sedikit terlihat. Bu Vera tahu aku selalu memperhatikannya, tapi dia membiarkan saja, bahkan seolah justru senang dan menikmati kekagumanku, birahiku dan kegusaranku.

“Sudahlah sana tidur kalau ngantuk, aku tidak balik lagi kerumah pak Falcon kok Ti, wong hampir selesai kok” Ucapnya. Bu Vera beranjak pergi katanya mau pipis. Ketika Bu Vera berjalan, pinggulnya yang bergoyang-goyang tak lepas mataku. Begitu padat, begitu bulat.

Mbak Suti langsung pamit tidur. Tinggallah aku di ruang tengah itu, sendiri, melamun. Sekian lama hubungan kami berjalan. Selama ini kami hanya sampai batas berpelukan, berciuman, saling tindih di ranjang dengan napas yang menderu-deru dan berujung orgasme tanpa coitus.

Entah berapa kali penisku menekan-nekan dan menggesek-gesek di vaginanya yang basah di celana. Entah berapa kali spermaku membasahi celana dalamku sendiri dan celana dalam Bu Vera. Lantas walaupun penisku belum pernah sekalipun masuk ke vaginanya, kecuali hanya menggesek-gesek dan aku orgasme, masih perjakakah aku?

Langkah Bu Vera terdengar dan terus kupandangi sekujur tubuhnya yang semampai melenggok-lenggok, dari kepala sampai kaki ketika dia berjalan kearahku. Stagen di pinggangnya sudah tak ada hingga perutnya sedikit terlihat. Dadaku berdebar-debar. Berkali kali kutelan ludah.

“Kamu melihat Ibu, kaya Ibu ini apaan sih?”, ucap Bu Vera genit mengibaskan tangan kanan di mukaku.

“Ibu cantik sekali, makin seksi, seksi sekali berkebaya dan Saya terangsang sekali” Ucapku asal saja menunjuk ke penisku.

“Hus. Sekali, sekali. Daripada melamun sini pijitin Ibu”, Ucap Bu Vera duduk membelakakingiku dan menepuk pundaknya. Aku pijit kedua pundaknya perlahan-lahan. Bu Vera kadang menggeliat keenakan.

Makin lama pijitanku makin turun, ke punggungnya, ke tulang-tulang rusuknya, ke pinggangnya. Tak lama kuVerak pundaknya dan kusandarkan punggungnya ke dadaku, kutempelkan pipi kananku ke pipi kirinya.


Lalu kupijit kedua pahanya, kuelus-elus dan kuremas-remas sampai ke pinggulnya. Bu Vera memejamkan matanya. Pijitan bercampur elusan kedua tanganku merambat naik dan berhenti di dadanya untuk meremas-remas buah dada yang kurasakan besar dan kenyal itu.

Mukaku kugesek-gesekan di rambut dan kondenya, pipinya, dan kukulum-kulum telinganya. Deru napas Bu Vera mulai tak teratur kadang diselingi desahan halus. Tangan kanannya mencoba meraih kepalaku, kadang mencengkram lembut rambutku.

Telapak tangan kirinya digosok-gosokan kepipi kiriku. Remasan tanganku ke buah dadanya makin liar, mukaku meliuk-liuk menciumi apa saja di kepalanya. Kubuka kancing baju kebayanya. Sembulan sepertiga buah dada dari BH-nya indah sekali.

Aku makin terangsang. Penisku yang berdiri sejak tadi ingin meledak rasanya. KuVerak baju kebayanya turun ke belakang hingga pundak dan lehernya bebas kuciumi dan jilati. Ibu Vera mengerang nikmat.

Kulingkarkan kedua tanganku memeluknya erat-erat. Bibir Bu Vera yang setengah terbuka kusambar dengan bibirku dan kukulum habis. Ujung lidah kami beradu, kutelusuri lidahnya sampai seberapa jauh dapat masuk, ke rongga-rongga mulutnya. Begitu kami bergantian.

Aku dan Bu Vera mulai tak tahan, kurebahkan dia disofa. Kutelusuri tubuhnya, kuciumi dari muka, dada, perut paha, dan betisnya yang masih dibalut kain jarik. Naik lagi dan kutindih Bu Vera. Erangannya makin merangsangku. Kubuka ikat pinggangku.

“Jangan disini sayang. Nanti kalau Suti bangun…” Tiba-tiba ucap Bu Vera tak menyelesaikan kalimatnya. Kami berdiri. Bu Vera melepas ritsluiting celanaku, memasukan tangannya ke celana dalamku dan meremas-remas penisku yang tegang dengan geregetan.

“Heemm” Ucapnya lalu membimbingku masuk ke kamarnya berjalan mundur dengan memegang dan menarik penisku. Itu membuat kami tertawa.

Pintu kamar dikuncinya cepat-cepat. Kubuka bajuku dan Bu Vera setengah menunduk membuka celanaku lalu mencari penisku. Begitu dapat langsung dimasukan ke mulutnya, dijilati dihisap-hisap, diciumi dan kadang dikocok-kocok dengan tangannya.

Yang begini belum pernah dia lakukan. Aliran kenikmatan merambat sampai ubun-ubun kepalaku. Aku memberinya isyarat agar melepaskan penisku. Aku dipuncak nafsu dan ingin memasukan penisku langsung saja ke vaginanya, tapi dia menolak.

Badanku rasanya makin bergetar dengan tulang yang mau berlepasan dan syaraf-syaraf di tubuhku rasanya kelojotan nikmat. Bu Vera begitu bernafsu dan nikmat memainkan penisku di mulutnya

Aku tak tahan dan minta rebahan di ranjang. Bu Vera melepas baju kebayanya. Dengan tetap BH masih di dada dan kain jariknya yang belum terlepas, mulutnya langsung mengejar burung pusakaku sampai dua biji telornyapun dia cium, jilat dan hisap.

Aku makin bergelinjang, melayang-layang nikmat. Hingga dipuncaknya, aku tak sempat lagi memberitahunya kalau spermaku mau keluar. Hingga akkhh…, crott…, croot…, Crroott. Spermaku muncrat di dalam mulut Bu Vera. Tapi Bu Vera justru malah bernafsu, menelannya dan terus menghisap-hisap penisku sampai bersih, kasat dan ngilu rasanya. Aku terkejut. Bangun terduduk.

“Ibu telan? Apa ibu tidak jijik?”, Tanyaku bodoh.

Ibu Vera menggeleng, justru mukanya cerah, kepuasan terpancar di wajahnya. Aneh pikirku.

“Orang bilang, meminum air mani perjaka akan membuat perempuan awet muda. Lepas betul atau tidak yang terang Ibu sudah mencobanya barusan Sayang” Ucap Bu Vera lalu menciumiku dari muka sampai dadaku, sementara tangan kanannya terus meremas-remas penisku.

“Ayo lagi Sayang, Ibu pingin kamu puas” Ucap Bu Vera mesra. penisku yang tadi terkulai karena sudah keluar sperma dan shock mulai menegang lagi akhirnya. Bu Vera kembali mengulum dan menghisap-isap penisku.

“Kalau Ibu masih pingin, ambil semua sperma Saya” Ucapku, Ibu Vera tersenyum.

Kubuka BH-nya dan kuVerak lilitan kain jariknya. Bu Vera berdiri untuk memudahkan melepas kain jariknya. Tubuhnya yang telanjang bulat langsung kuterkam, kurebahkan dan kutindih. Dua payudaranya yang besar itu kuhisap-hisap putingnya bergantian.

Tangan kananku menggosok-gosok vaginanya. Kuciumi, kujilati dan kuhisap-hisap semua bagian yang menurut instingku bisa membangkitkan gairahnya. Bibir, lidah, telinga, leher, payudara, perut, pusar, paha, vagina, betis sampai ke jari dan telapak kakinya.

Tubuh Bu Vera bergelinjangan tak karuan dadanya naik-turun kelojotan. Tangan kirinya meremas-meremas payudaranya dan tangan kanannya menggosok-gosok vaginanya sendiri. Konde rambut Bu Vera hampir terlepas. Mulutku naik lagi ke atas menyusuri betis dan paha hingga akhirnya berhenti di vaginanya. Dengan kedua tanganku kusibak pelan bulu vaginanya.

Kulihat belahan vaginanya yang memerah berkilat dan bagian dalamnya ada yang berdenyut-denyut. Kuciumi dengan lembut, bau divaginanya membuat sensasi yang aneh. Tak pernah ada bau seperti ini yang pernah kukenal rasanya.

Dengan hidung kugesek-gesek belahan vagina Bu Vera sambil menikmati aroma baunya. Erangan dan gelinjangan tubuhnya terlihat seperti pemandangan yang indah sekaligus menggairahkan.

“Aakhhk…, eekhh…, nikmat sekali sayang. Teruuss sayang”, Rintih Bu Vera.

Kujulurkan lidahku, kujilat sedikit vaginanya, ada rasa asin. Lalu dari bawah sampai atas kujulurkan lidahku menjilati belahan kewanitaannya. Begitu seterusnya naik turun sambil melihat reaksi Bu Vera.

“Akkhh…, Akkhh…, Akkhh…, Engghh” Bu Vera terus merintih nikmat, tangannya mencari tangan kananku, meremas-remas jariku lalu membawanya ke payudaranya. Aku tahu dia ingin yang meremas payudaranya adalah tanganku.

Begitu kulakukan terus, tangan kananku meremas payudaranya, mulutku menjilati dan menghisap-hisap vaginanya, tangan kiriku mengelus-elus pinggang, paha sampai ke betisnya yang putih mulus dan halus itu.

“Akkhh…, sudah Sayang…, sudah…, ayo sekarang Sayang Ibu sudah tak tahan akkhh…, masukan sayang, masukan” Desah Bu Vera mengerang meraih kepalaku agar menghentikan jilatan di vaginanya dan minta disetubuhi.

Tanpa harus mengulangi lagi permintaannya langsung saja aku merangkak naik, menindih tubuh Bu Vera. Bu Vera melebarkan pahanya. Penisku menuju vaginanya. Beberapa kali kucoba, memasukan, beberapa kali pula gagal.

Aku tak tahu mana yang pas lubangnya, mana yang hanya belahan vagina. Tapi tangan Bu Vera segera membantu, memegang penisku, membimbing ke depan lubang vaginanya lalu berkata “Ya itu Sayang…, disitu…, tekan Sayang tekan…, disitu…, aakkhh…, ayo Sayang…, Ibu tak tahan…, oo.., akkhh” Ibu Vera merintih ketika penisku yang kutekan masuk seluruhnya ke lubang vaginanya. Sejenak tubuhku kaku, aku diam saja, aku nervous. Batang penisku rasanya terjepit oleh dinding vagina Bu Vera yang seperti berdenyut-denyut dan menghisap-hisap. Nikmat luar biasa. Ini yang pertama.

Bu Vera menggoyang-goyangkan pinggulnya, setengah berputar-putar dan kadang naik turun. Penisku yang tertancap di vaginanya yang setengah becek dibuat seperti mainan yang membuatnya nikmat tak karuan.

“Ayo Sayang…, ayo…, bareng-bareng Sayang… Ibu mau keluar Sayang…, ayo…, ayo..” Rintih Bu Vera dengan mata setengah terpejam dan mulutnya yang terus terbuka mendesah-desah dan kian kuat menggoyang-goyangkan pinggulnya.

Akupun terus mengimbanginya sampai tiba-tiba Bu Vera seperti terdiam dan kedua tangannya merangkul leherku kuat-kuat dan dari mulutnya keluar desahan panjang. “Aakkhh…, Oukhh…, Engkhh…”, Bersamaan dengan rintih kepuasannya, denyutan dan hisapan vagina Bu Vera makin kuat dan nikmat rasanya.

Akupun sudah tak tahan lagi dan ingin agar spermaku segera keluar. Karenanya kunaik-turunkan penisku, kuputar-putar dan kunaik-turunkan terus hingga akhirnya croott…, croott…, crroot. “Akhh…” Bersamaan dengan muncratnya spermaku di vaginanya, kembali Bu Vera mendesah nikmat. Napasku memburu, aku lemas sekali rasanya. Sementara Bu Vera tetap menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan pelan dan tangannya mengelus-elus rambutku.

Beberapa saat kubiarkan tubuhku menindih tubuh bugil Bu Vera tanpa tangan atau dengkulku menahan beban badanku. Penisku tetap menancap di vaginanya. Ketika ingin kucabut Bu Vera melarangnya. “Jangan sayang, jangan dicabut dulu, biarkan ibu memiliki dan menikmatinya, peluk…, peluk…, tetap tindihlah Ibu sayang. Ibu puas, Kamu puas sayang hemm?.., nikmat sayang?..” Ucap Bu Vera sambil terus menciumiku.

Malam itu kami habiskan tidur sambil berpelukan di ranjang yang biasa Ibu Vera tidur dan bersetubuh dengan suaminya. Tapi sejak malam itu dan disetiap kesempatan yang ada kusetubuhi pula Bu Vera di ranjang yang sama.

Aku tak perlu lagi hanya beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya, begitupula Bu Vera tak perlu lagi hanya sekedar membayangkan bersetubuh denganku jika ia melayani suaminya. Kami baru bersetubuh di hotel jika salah satu dari kami sudah tak tahan lagi sementara kesempatan di rumah tak ada.

Atau ketika obsesiku kumat untuk bersetubuh dengan Bu Vera dalam pakaian kebaya, kain jarik dan berkonde. Ini terkadang aneh, berlama-lama Bu Vera ke salon rias, begitu selesai langsung ke Hotel dan kuacak-acak sampai berantakan. (Aneh ya?!).

Sering pula jika keadaan memungkinkan, Bu Vera suka menyelinap ke kamarku untuk “fast sex”. Seks cepat dengan tetap masih berpakaian. Tandanya, Bu Vera masuk ke kamarku sudah tanpa celana dalam dan dipuncak nafsu. Ini sering terjadi jika Bu Vera sedang butuh tapi Pak Bagong tak acuh terus tidur.

Tentang vagina Bu Vera, mungkin itu yang disebut vagina empot ayam. Vagina yang tak pernah kutemui pada semua perempuan (adik-adik, Mbak-Mbak, tante-tante dan ibu-ibu rumah tangga yang muda maupun tua) yang pernah kutiduri, sampai hari ini sekalipun diumurku yang 37 tahun.

Share:
Copyright © majalah dewasa-Cerita sex-prediksi togel -berita-bandar togel terpercaya | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com